Dunia perguruan tinggi sungguh berbeda dengan dunia sekolah menengah (atas dan pertama). Dunia sekolah menengah adalah periode yang dipenuhi suka cita, egoisme, kegundahan khas remaja, dan cita-cita hidup yang masih didominasi oleh ukuran-ukuran material dan pragmatis. Dunia perguruan tinggi berbeda, seolah membukakan segalanya sambil menjelaskan ‘It's the real life'. Penuh warna dan pertarungan pembentukan jatidiri yang diukur dengan spirit intelektualisme, karya dan akhirnya pengakuan.
Hidup tidaklah sesederhana yang dipikirkan sebelumnya, namun tetap menyimpan misteri potensi keindahan dan sukacita yang lebih luas, berwarna, dan mendalam. Semuanya bermula dari kesadaran historis pembentukan dan perjalanan bangsa serta posisi strategis mahasiswa didalamnya.
Mahasiswa adalah kelompok minoritas....para aktivis hanyalah minoritas juga dalam populasi mahasiswa. Tetapi mereka memainkan peranan yang profetik. Mereka melihat jauh ke depan dan memikirkan apa yang tidak atau belum dipikirkan oleh masyarakat umumnya. Dalam visi mereka, tampak suatu kesalahan mendasar dalam masyarakat. Dan mereka menginginkan perubahan. Tidak sekedar perubahan-perubahan marginal, tetapi perubahan fundamental. Mereka memikirkan suatu proses transformasi.
Sejarah Indonesia juga mencatat bagaimana pentingnya peran mahasiswa baik dalam proses menuju maupun pasca terbentuknya negara Indonesia. Peran mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam berbagai organisasi kemahasiswaan sangat menonjol dalam perubahan-perubahan besar di republik ini. Sejarah kemudian mencatat peran mereka dalam pembentukan nasionalisme Indonesia melalui Sumpah Pemuda (Youth Pledge) 1928, penculikan Soekarno-Hatta yang mendorong percepatan proklamasi kemerdekaan menjadi 17 Agustus 1945, peralihan Orde Lama ke Orde Baru tahun 1960-an akhir, dan peralihan dari Orde Baru ke Era Reformasi pada tahun 1998.
Untuk menjadi mahasiswa sejati pertama-tama kita harus memahami terlebih dahulu apa yang menjadi ‘fitrah' dari mahasiswa. Paling tidak ada predikat yang melekat pada mahasiswa, pertama insan akademis. Dalam konteks ini mahasiswa adalah insan pembelajar yang haus ilmu dan informasi bagi pengembangan rasio dan kepribadiannya. Sekaligus menjadi bagian yang mengusung dunia yang dinaungi nilai-nilai keilmiahan, moralitas dan independensi.
Melihat teori-teori mengenai seorang intelektual tampaknya kita tidak akan ragu bahwa dengan kehadiran para intelektual maka kepentingan rakyat senantiasa ada yang membela atau paling tidak pemerintah akan merasa diawasi oleh kritik dan penelitian yang dilakukan, namun hari ini kenyataannya apa yang kita harapkan ternyata masih jauh dari harapan dimana kita jarang menemukan para intelektual yang sesuai dengan definisi di buku buku ataupun tulisan tulisan yang pernah kita baca yang bersedia mengorbankan nyawanya untuk terjadinya perubahan ke arah yang lebih baik dibanding harus tunduk melayani penguasa.
Kini pilihan itu ada di tangan kita, untuk menjadi seorang intelektual sejati yang tidak takut menyuarakan kebenaran (la khaufun alaihim wa la hum yahzanun). Ia hanya ditunggangi kepentingan misi Ilahiah (la yas alukum alaihi ajran wahum muhtadun), dan menjadi Director of change/agen perubahan, bukan subject of change/yang dirubah bagi masyarakat di sekitarnya, ia percaya bahwa mandat cendikiawan (intelektual) sebagai sosok yang berpihak kepada si lemah, Sahabat Nabi yang hidup dalam kemiskinan dan selalu melakukan kritik pada segala bentuk kedzaliman, penolakan juga harus dilakukan terhadap segala bentuk pemisahan antara teori dan praksis lebih-lebih kepada para penjual teori dan jasa penelitian untuk memenuhi kepentingan penguasa belaka, dan ketika hal ini terjadi maka para intelektual hanya akan menjadi istana gading yang tidak tersentuh oleh rakyat serta tidak mampu berbuat apa-apa.