Dunia pendidikan adalah dunia ethic yang harus selalu berada di depan menghela dunia emic pragmatis di lapangan. Oleh karena itu, seharusnyalah semua orang yang berada dalam dunia akademik menyadari raison d ‘etre – nya ini.
Parahnya birokrasi kampus ternyata sangat jauh dari apa yang seharusnya terjadi. Mulai dari menteri pendidikan, rektor, dekan hingga staff di jurusan/program studi tak sedikitpun memiliki respect terhadap gerakan mahasiswa. Segelintir mahasiswa yang masih mau meluangkan waktu untuk menjadi aktifis mendapat cemoohan dari banyak pihak. Teman-teman kulaihnya yang tak memilih jalur hidup itu, para dosen dan birokrasi kampus memandang remeh terhadap mereka. Bahkan keluarga mereka sendiri tak banyak yang men-supportanaknya untuk menjadi seorang aktifis gerakan mahasiswa.
Sekian banyak aktor yang meminggirkan posisi strategis aktifis gerakan mahasiswa itu sebenarnya terbingkai dalam sebuah sistem. Dan inti dari sistem ini adalah terletak pada birokrasi kampus (pejabat-pejabat struktural yang ada di perguruan tinggi). Apabila mereka memiliki sensitifitas yang cukup terhadap arti strategis gerakan mahasiswa sesungguhnya mereka dapat memberikan regulasi yang bersifat memberi ruang ekspresi pada para aktifis. Namun kenyataannya justru regulasi kampus mempersempit ruang ekspresi gerakan mahasiswa. Buktinya adalah tidak adanya apresiasi akademis yang cukup dari birokrasi kampus terhadap para aktifis yang terbukti cukup gigih dalam memperjuangkan demokrasi dan hak-hak kaum marginal. Atau bahkan ruang-ruang diskusi kritis yang dilakukan secara independen oleh para mahasiswa dipandang remeh dan membuang-buang waktu oleh birokrasi kampus.
Dunia pendidikan tinggi yang mengemban Tri Dharma hanya dimaknai secara formal prosedural, tidak substansial. Sehingga fasilitasi yang diberikan hanya kepada lomba-lomba penelitian, lomba pidato dan perlombaan lainnya yang banjir hadiah dan pengahargaan dari para menteri maupun presiden. Tapi prestasi yang dicapai oleh para aktifis yang memperoleh penghargaan dari rakyat tak pernah dianggap penting. Ini sama halnya bahwa para birokrat kampus tak memandang penting posisi rakyat. Mereka lebih berpihak dan menghormati menteri-menteri dari pada para marginal kota, buruh, nelayan maupun petani yang terpinggirkan. Sungguh merupakan sikap akademis yang memalukan.
Prioritas yang ada pada para birokrat kampus juga para dosennya adalah mengeruk sekarung proyek yang berimplikasi langsung terhadap makin bertambahnya pendapatan sampingan (yang hampir pasti jumlah berlipat-lipat kali gaji mereka). Bukan haram untuk melakukan itu, tapi bila hanya uang yang dikejar dari sekian banyak proyek itu maka itulah tanda-tanda akhir dunia. Sibuknya para dosen dan birokrat kampus akan berbagai proyek itu seringkali mengabaikan tugas utama mereka dalam pendidikan itu sendiri. Waktu untuk melayani mahasiswa manjadi makin sempit. Bahkan masih sangat sering ditemui wajah-wajah masam dan tak menyenangkan ketika mereka berhadapan dengan mahasiswa, terlebih penampilan kumal para katifis. Alih-alih proyek-proyek itu dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan di kampus, yang terjadi justru kampus seperti kereta trolley yang menampung segala jenis barang secara serampangan dan campur aduk. Yang penting komoditas tersebut laku dijual dan segera mendapatkan untung.
Inilah wajah muram birokrasi kampus yang ada saat ini. Sehingga tak berlebihan kalau dikatakan ia merupakan agen utama yang turut serta membuat gerakan mahasiswa yang ada di Indonesia saat ini collaps. Jangankan untuk serius memberi ruang apresiasi terhadap gerakan mahasiswa, memikirkan dan berempati saja tidak. Padahal sikap tak peduli terhadap gerakan mahasiswa adalah juga sikap tak peduli terhadap tegaknya demokrasi dan hak-hak rakyat tertindas. Kalau sudah begitu, dimanakah idealisme akademik para birokrat kampus akan dialamatkan