Refresh Intelektual Mahasiswa USM



Laksana semut di seberang lautan jelas kelihatan dan gajah di pelupuk mata tidak kelihatan. Begitulah bunyi pribahasa yang sering kita dengar. Mungkin kita kurang normal jika kita tidak mampu melihat gajah tersebut secara jelas. Entah kalau kita sudah terjebak penyakit “rabun” reformasi . Masih mending kita dihinggapi oleh “rabun” cantik, sehingga tidak mudah tergoda oleh yang “cantik-cantik”. Tetapi tatkala “rabun” reformasi menghinggapi diri kita, apa boleh dikata moralitas kita perlu dipertanyakan, kemanusiaan dan harga diri kita perlu dikonstruksi kembali.


Ada beberapa aspek strategis yang luput dari perhatian dan ingatan kita selama mengarungi kehidupan kampus ini. Aspek-aspek tersebut adalah aspek intelektual yang perlu di implementasikan melalui reformasi Intelektualatau dalam slogan lain Reresh Intelektual. Berkenaan dengan reformasi ini, masih belum banyak kalangan yang concern dengan agenda refresh intelektual. Padahal disadari betul bahwa tidak mungkin bangsa ini akan bangkit kembali jika tidak ditangani oleh mereka yang mempunyai kualitas intelektual tinggi. Bangsa kita masa mendatang membutuhkan kader-kader yang profesional. Yang diharapkan lahir dari dunia perguruan tinggi, yaitu kampus.
Berat memang bagi setiap institusi perguruan tinggi untuk membenahi basic intelektual para mahasiswa dan mahasiswa itu sendiri. Salah satunya adalah membuka peluang selebar-lebarnya terhadap mahasiswa untuk selalu mempertajam daya pikir, sikap kritis dengan senantiasa berpegang terhadap nilai-nilai moralitas. Ini sangat urgent dilakukan untuk menghindari berbagai kepentingan yang selalu mencari peluang untuk memanfaatkan gerakan mahasiswa.

Secara konseptual, reformasi intelektual dapat dimulai dengan beberapa strategi dengan secepatnya melakukan langkah-langkah sebagai berikut :

Pertama, pihak perguruan tinggi sudah semestinya memposisikan lembaga-lembaga kemahasiswaan UKM, PEMA, BEM dan Himpunan sebagai partner group dalam membangun progresivitas institusi kampus. Dalam hal ini pihak rektorat, pembantu rektor, dekan, pembantu dekan, dan dosen harus mampu menempatkan kedudukan mahasiswa pada posisi yang seharusnya, yakni sebagai peran pendidik baik secara langsung atau pun tidak merupakan kewajibannya untuk selalu mengarahkan mahasiswa sebagai peserta didik dalam rel berpikir kritis. Dari kontribusi pemikiran para dosen diharapkan mahasiswa tercetak sebagai golongan cerdik pandai sesuai dengan cita-cita tridarma perguruan tinggi, dan tercapainya sasaran tujuan pendidikan nasional. Yakni pendidikan sebagai usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan( kualitas ), serta kedewasaan yang dilakukan di dalam dan di luar kampus, yang berlangsung seumur hidup.

Kedua, pihak rektor, pimpinan fakultas harus memberikan kebebasan sekaligus peluang kepada mahasiswa untuk selalu berdialektika.

Ketiga, hindarkan struktur kelembagaan perguruan tinggi yang cenderung menghambat daya kritis mahasiswa. Tahun 1983 Nugroho Notosusantomengeluarkan ide institusionalisasi dan profesionalisasi melalui transpolitisasi kehidupan kampus. Dengan kebijakan tersebut berarti mahasiswa tidak menemukan kebebasan dalam mengekspresi potensi intelektualnya lantaran terkooptasi oleh aturan-aturan perguruan tinggi.

Berbeda dengan tahun 66 sampai era Pemerintahan Mahasiswa ( PEMA ) dimana mahasiswa memiliki kebesan penuh dalam mepresentasikan peran sosialnya atau yang kemudian dikenal dengan Student Govertment. Dengan konsep PEMA ini, kampus menemukan faktor dominannya untuk mensikapi berbagai dinamika yang terjadi menyangkut kepentingan rakyat dalam negara. Mahasiswa kembali menemukan jati dirinya, sedangkan selama ini eksistensi mahasiswa kerapkali dipertanyakan, karena mahasiswa dianggap bukan insan berkepribadian lagi, setelah hilangnya sikap idealismenya.

Keempat, pihak perguruan tinggi harus memperhatikan fasilitas-fasilitas penunjang bagi terwujudnya kader intelektual, seperti halnya perpustakaan kampus yang refresentatif. Ini dapat ditempuh dengan selalu melengkapi rak-rak perpustakaan kampus dengan buku-buku yang lengkap, referensi terbaru, atau buku-buku langka yang membantu mendukung kearah meningkatnya ilmu pengetahuan dan wawasan berpikir mahasiswa. Sebab matinya perpustakaan menunjukan matinya intelektualitas mahasiswa.

Kelima, mahasiswa hendaknya menghidupkan kembali kelompok-kelompok diskusi, pengkajian-pengkajian, dan penelitian-penelitian ilmiah. Disamping itu transferinformasi dari berbagai kalangan perguruan tinggi melalui media-media seperti pers mahasiswa, internet, dan lain-lain sangat memiliki akses besar untuk menambah daya kritis mahasiswa.

Bentuk strategi tersebut di atas adalah sebagai upaya untuk menuingkatkan kualitas mahasiswa, sehingga tidak ada anggapan sinis bahwa mahasiswa Indonesia, sebagian atau mayoritas alumni perguruan tinggi menjadi“”sarjana Traumatik “ , karena keilmuan dan keterampilan yang dimilikinya dirasakan tidak mampu, tatkala dihadapkan pada persoalan-persoalan riil yang terjadi di masyarakat.

Tetapi perlu di ingat bahwa refresh intelektual dimaksud bukan untuk memarjinalisasi sikap kritis, daya inovatif dan kreativitas mahasiswa. Justru dengan intelektualitas yang memadai yang ditunjang dengan pemahaman-pemahaman yang proporsional akan lebih membuka mata hati terhadap masyarakat. Di sisi lain reformasi intelektual tersebut tidak menafikan masalah sosio-politik, artinya partisipasi aktif mahasiswa dalam kehidupan sosial politik bisa saja dilakukan asalkan pada konteks dan kedudukannya sebagai mahasiswa dimana setiap langkah, gerakannya adalah dalam rangka memperjuangkan nilai-nilai moralitas bangsa dan negara, sebagai social control.

Jadi penulis beranggapan bahwa demonstrasi adalah salah satu dari cermin intelektualitas mahasiswa, jika demonstrasi itu berada pada posisi demi membela kepentingan bersama. Maka dari itu penulis tidak sepakat jika ada anggapan bahwa silahkan boleh bicara politik dari rel akademis bahkan secara ilmiah tetapi jangan sampai demo-demoan. Pendapat ini jelas merupakan kunci mati mahasiswa dalam berpartisifasi aktif dalam kehidupan sosial politik. Jika pendapat diatas menjadi sebuah legalitas dan berbentuk kebijakan-kebijakan seperti halnya pernah dilakukan Mendikbud Nugroho Notosusanto tentang Transpolitisasi kampus, maka akan menciptakan kader-kader bangsa yang kurang antisifatif terhadap lingkungannya, kurang mempunyai kepedulian sosial dan rasa keprihatinan akan yang mendalam terhadap kondisi bangsanya.

Mahasiswa melalui perwakilannya yaitu Pemeritahan Mahasiswa (PEMA) harus bersama-sama membangun dan mepresentasikan peran sosialnya atau yang kemudian dikenal dengan Student Govertment. Dengan konsep ini, kampus menemukan faktor dominannya untuk mensikapi berbagai dinamika yang terjadi menyangkut kepentingan mahassiwa itu sendiri bahkan untuk kepentingan masayarakat, bangsa dan negara. Mahasiswa harus kembali menemukan jati dirinya, eksistensi mahasiswa harus diperjuangkan, karena mahasiswa adalah insan berkepribadian, yang selalu menjunjung tinggi sikap idealismenya.

Penulis 
saidil Anzari
Mahasiswa Teknik Industri Universitas Serambi Mekkah
UKM Mapala - SMaK 

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...