Berbicara tentang pergerakan mahasiswa, maka layak bagi kita memaknai pergerakan mahasiswa secara utuh, menyeluruh dan bukan lagi memaknainya secara parsial. Pemaknaan secara utuh itulah yang menempatkan mahasiswa pada sebuah masa dan tempat yang tinggi, serta strategis. Karena, idealnya mahasiswa adalah golongan intelek yang sense of crisis nya tinggi. Mungkin, patut bagi kita yang mengaku sebagai aktivis mahasiswa untuk kembali melakukan refleksi sejarah. Bahwa sejarah telah mencatat, gerakan mahasiswa dengan idealisme para aktivisnya mampu menumbangkan kediktatoran Soekarno dan juga mampu meruntuhkan kerajaan Soeharto.
Namun, kini kita dapat melihat bagaimana gerakan mahasiswa telah mati suri. Sunyi, senyap tidak ada nafas kehidupan. Percikan api keberanian dan kejujuran tak lagi nampak.
Ruang-ruang diskusi tak lagi diramaikan pembicaraan tentang problematika umat. Jika masa lalu keterbatasan media membuat para aktivis (baca: para orang yang ada dalam pergerakan mahasiswa) semakin kreatif dan juga kritis. Berbanding terbalik dengan keadaan saat ini, bahwa yang kemudian nampak bahwa bangsa terjebak pada era global, teknologi yang membuat dunia semakin kecil justru mengkerdilkan pula jiwa-jiwa para aktivis pergerakan mahasiswa. Suara keberanian dengan segala kejujurannya tak lagi keras diteriakan. Tali kendali pemerintahan tak lagi mampu dipegang, bargaining position tak lagi ada. Idealisme telah tertawan pada ruang-ruang pembodohan bangku kuliah yang mengekang. Sifat kritis yang harusnya dimiliki mahasiswa, perlahan hilang tanpa jejak. Semua lini seakaan mati, mahasiswa hanya dijadikan sebagai komoditas pekerjaan. Dunia global menuntut kampus untuk menghasilkan manusia yang cerdas. Sedangkan kampus menginginkan cetakan-cetakan kilat tanpa ada proses transform yang utuh.
Ketidakseimbangan inilah yang kemudian terjadi secara berkesinambungan dan mengakibatkan ketumpulan para aktivis pergerakan mahasiswa. Gerak mungkin masih ada, geliat kebergunaan juga masih nampak. Akan tetapi, kemudian yang terlihat bahwa gerak-gerak para aktivis mahasiswa hanya terkungkung pada ranah-ranah teknis. Ranah yang menyita waktu, tenaga dan fikiran. Ironi ketika para aktivis pergerakan mahasiswa yang harusnya memegang erat idealismenya terjebak pada ranah-ranah penyelesaian program kerja tanpa adanya charge, pengasahan idealisme dan perluasan paradigma. Maka menjadi sebuah kewajaran ketika banyak orang beranggapan bahwa aktivis gerakan mahasiswa tidak dipandang. Pemerintah bisa saja dengan leluasa sewenang-wenang pada rakyatnya, tanpa adanya sistem control yang harusnya dikawal oeh para aktivis mahasiswa pergerakan. Saat ini diperlukan adanya reorientasi para aktivis gerakan mahasiswa. Penyadaran akan tugas, fungsi dan posisinya.
Telah menjadi PR bersama yang harus segera dituntaskan, yaitu bahwa merentas kembali pergerakan mahasiswa yang idealis. Mengaktifkan kembali lokus-lokus diskusi, karena dengan begitu pengasahan akan idealisme akan tetap ada. Mengeluarkan idealisme dari tawanan pikiran-pikiran picik jangka pendek, mengembangkannya menjadi gagasan besar. Membuka pikiran agar tak sempit hanya pada ranah teknis, tapi terkadang diperlukan juga untuk menyentuh ranah konsep. Membangunkan pergerakan mahasiswa yang sedang mati suri memang tidak mudah. Akan tetapi, ikhtiar perlu dilakukan. Mendidik Penguasa dengan perlawanan dan mendidik rakyat dengan pergerakan. penyadaran, perlawanan & pergerakan.