DALAM psikologi,
hati digerakkan oleh jiwa. Sedang dalam antropologi, perilaku digerakkan atau
diremotkan oleh kebudayaan. Demikian surah Pak Dosen pada mahasiswanya. “Sehingga,”
lanjut peneliti masalah sosial itu, “nantinya seseorang akan mengalami culture
shock (gegar budaya) ketika tinggal di lingkungan baru.” Misal, “ada orang
kampung datang ke kota. Tinggal di kota barang dua hari. Pulang dari kota sudah
bawa embel-embel kota: Alah, male teuh. Malas tat lon. Wo dari Lok. ih..,
jorok….”
kita
Ia langsung teringat pada banyak mahasiswa dari pelosok-pelosok Aceh yang kuliah
ke Banda Aceh. weueh hate (terenyuh) melihat mahasiswa Aceh ketika sesama Aceh
pun ngomong bahasa Indonesia dengan lebay di
luar lingkungan formal.
Atau
berbicara dalam bahasa Aceh dengan membawa embel-embel kota. Ya seperti Pak Dosen contohkan.
“Tak perlu jauh-jauh,” pada saat ini kita melihat mahasiswa
yang merantau ke Banda Aceh dan kuliah
dibanda aceh, lihatlah ketika ia ngomong. Pakai bahasa indonesia’ itu diucapkan
terbata-bata. Meubalok-balok itubiet logat aceh. Hahahhahahahhahaha. Sok pakek bahasa Indones.”
Maka wajar ketika ada orang Aceh
yang sudah berpuluhan tahun tinggal di luar Aceh, lalu ia pulang ke Aceh dan ia
merasa kasihan pada generasi Aceh, seperti terpublis pada SMS Pembaca Harian
Aceh edisi 3 Mei 2011. Berikut cuplikannya.
Meuploh
thon lon dilua. Yang paleeng teukeujot bin lucu that ate lon woe u Aceh,
teristimewa Banda Aceh, taeu ureung sabee Aceh meututo ngen bahasa Indonesia.
Tuha muda sa sit. Hana daerah laen latah lagee nyan. Alah hai syeedara lon
meutuah bahagia, peukeuh maleei neuh jeut bansa Aceh? Pakon, pakon, pakon?
Bila diindonesiakan, kira-kira
begini: Puluhan tahun saya di luar. Yang paling terkejut bin lucu sekali ketika
saya pulang ke Aceh, teristimewa Banda Aceh, kita lihat orang Aceh sesama Aceh
bertutur dengan bahasa Indonesia. Tua muda sama juga. Tak ada daerah lain latah
seperti itu. Alah hai saudara saya yang bertuah bahagia, apakah malu Anda jadi
orang (bangsa) Aceh? Kenapa, kenapa, kenapa?
Jelas sekali kekecewaan yang dirasakan si pengirim sms ini.
Dari kalimat “Hana daerah laen latah lagee nyan”, itu menunjukkan betapa
lebaynya generasi Aceh. Ini bisa ditarik kesimpulan, generasi Aceh yang datang
dari kampung ke kota dan lalu hidup di kota, bahwa mudah sekali mengalami latah
budaya (culture
shock).
Lalu maksud dari tulisan ini akankah suatu saat nantinya para generasi aceh
akan melupakan bahasa daerahnya dan beralih kepada bahasa indonesia.
Suatu bahasa nenek moyang yang akan kita bayar mahal apabila kita
meninggalkannya.