Sejak MoU
Helsinki dipublikasi, kata damai seumpama kata-kata keramat yang tidak boleh
dicaci dan dimaki. Begitu bermaknanya kata damai di tengah-tengah masyarakat.
Walaupun belum ada satu kesepakatan yang dibuat secara kolektif untuk
mendefinisikan makna damai itu sendiri, sehingga antara si A dan si B belum
tentu sama memaknai arti dari kata damai.
Apakah damai itu
hanya sebuah kata untuk melapangkan jalan komunikasi antara pihak-pihak yang
dulunya tidak pernah bisa duduk semeja untuk bersua dan bercengkrama? Atau
damai itu hanya sebagai alat legitimasi yang dipakai sekelompok orang untuk
meredam kekrtitisan rakyat atas penindasan yang hampir setiap waktu terlihat di
depan mata? Entahlah, yang pasti semua menginginkan damai, semua
mengagung-agungkan damai, semua mengkultuskan damai.
Jika merujuk pada
sebuah definisi sederhana dan sempit dari damai adalah ketiadaan perang (bahasa
Roma kuno untuk damai adalah Pax yang didefinisikan sebagai Absentia Belli,
ketiadaan perang).
Jika defenisi ini
yang dimaknai sebagai makna dari damai, maka benar apa yang dikatakan
pemerintah Aceh bahwa selama Aceh berada di bawah kekuasaan Irwandi-Nazar,
capaian yang paling signifikan di Aceh setelah konflik berkepanjangan adalah
masalah keamanan. Pemerintah telah mampu memberikan rasa aman kepada masyarakat
selama ini (Serambi Indonesia,7/12/2011), tidak ada lagi perang, tidak ada lagi
huru-hara, semua bisa merasakan damai.
Akan tetapi
bagaimana jika damai yang dimaksud adalah perdamaian bukan semata-mata tidak
ada ketegangan, melainkan adanya keadilan seperti yang dimaknai oleh Martin
Luther King? Masihkan kita mau membenarkan kalau perdamaian di Aceh sudah
terwujud?
Jika benar
perdamaian di Aceh telah terwujud seperti yang sering digembar-gemborkan,
kenapa granat dan peluru terus saja mengeluarkan suara-suara menggelegar
menembus ruang hati merenggut nyawa dan melukai manusia-manusia tak berdosa?
Tidak mungkin granat meledak, peluru melesat tanpa alasan yang melatarbelakangi.
Jika kerusuhan
terjadi di musim politik Pilkada seperti saat ini, Sebagian besar masyarakat
dan elit pemerintah akan berasumsi, “ini adalah pekerjaan para pihak yang tidak
puas dengan keputusan MK atau kelompok yang tidak senang dengan adanya Pilkada,
atau asumsi lain yang ada kaitannya dengan politik Pilkada
Mentang-mentang
sedang musim durian, boh leuping (kelapa digigit tupai) jatuh pun tetap di
bilang durian. Semua akan ngotot itu durian bukan boh leuping. Padahal sudah
jelas yang jatuh boh leuping bukan durian.
Kita lupa kalau
permasalahan di Aceh itu bukan hanya persoalan politik Pilkada. Ada persoalan
lain yang sepertinya terabaikan, yang seharusnya juga menjadi prioritas
pemerintah Aceh selain keamanan dan politik, yaitu ekonomi.
Menurut Kapolda
Aceh, pelaku penembakan di Geureudong Pase kecewa karena tidak diterima di
perusahaan tersebut. Ini biasa terjadi di perusahaan manapun. (Serambi Indonesia,
16/12/2011).
Walaupun dugaan
Kapolda belum tentu benar adanya, akan tetapi pernyataan ini sudah seharusnya
menjadi bahan refleksi kita semua, terutama Pemerintah Aceh.
Untuk sebuah proses
perubahan dan mempertahankan damai tidak cukup hanya melakukan
perbaikan-perbaikan di bidang keamanan saja, tetapi lebih dari itu. Kemampuan
untuk mencandra serta menformulasikan tatanan sosial budaya serta perekonomian
masyarakat sangat perlu untuk dilakukan. Walaupun analisis yang dilakukan
melalui pendekatan ekonomistik tidak selalu harus dijadikan sebagai
satu-satunya fundamen dasar perubahan.
Pembangunan ekonomi
tak dapat lepas dari pertumbuhan ekonomi. Pembangunan ekonomi mendorong
pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi memperlancar proses pembangunan
ekonomi. Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi keberhasilan pembangunan
ekonomi, dan sebaliknya.
Tujuh tahun sudah
damai di Aceh berlangsung akan tetapi derap perekonomian sepertinya masih jalan
di tempat. Hal ini terbukti dengan masih adanya pengangguran di mana-mana.
Terjadinya pengangguran karena jumlah angkatan kerja tidak sebanding dengan
jumlah lapangan pekerjaan yang mampu menyerapnya.
Membangun ekonomi
rakyat bukan semata-mata hanya dengan mengharapkan program bantuan kemanusian
dari para donatur. Tidak pula hanya menggantungkan harapan pada dana OTSUS dan
MIGAS. Tapi bagaimana pemerintah mampu menciptakan ekonomi yang
berkesinambungan dan bisa membuka lapangan kerja yang mengarah pada
kesejahteraan rakyatnya.
Selama kurun waktu
tujuh tahun ini sering kita mendengar istilah investor disebut-sebut di media
masa, bahkan Gubernur sering keluar negeri untuk mencari investor.
Namun sampai hari
ini belum terlihat ada industri yang dikembangkan oleh para investor. Belum ada
industri yang dapat menampung tenaga pemuda-pemudi Aceh. Belum ada industri
yang bisa mengalihkan minat para sarjana untuk terus menggantungkan harapannya
agar bisa menjadi PNS.
Jika industri di
Aceh tidak berkembang, otomatis akselerasi ekonomi tidak akan terjadi. Ketika
akselerasi ekonomi tidak terjadi maka angka pengangguran akan terus meningkat.
Adanya pengangguran maka produktivitas dan pendapatan masyarakat akan
berkurang sehingga menyebabkan kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya
seperti kriminalitas.
Pemberontakan yang
terjadi di belahan dunia manapun tidak pernah lepas dari kata ketidakpuasan
individu atau kelompok atas penderitaan mereka yang secara ekonomi
terpinggirkan. Selalu ada ketimpangan antara kepentingan raja dan budak,
saudagar dan buruh.
Pemerintah dalam
hal ini Gubernur dan DPRA telah terjebak dengan kondisi politik yang
diciptakannya sendiri. Pemerintah terlalu sibuk dengan urusan politik. Sibuk
mencari simpati. Sibuk melakukan pencitraan diri agar bisa terpilih di periode
selanjutnya. Yang terpikir dalam benak gubernur saat ini, bagaimana saya bisa
menang di periode selanjutnya. dan yang ada di kepala DPRA, bagaimana pilkada
gagal nantinya.
Kelalaian ini telah
menjadikan pemerintah lupa melihat Aceh dari sudut pandang kesejahteraan eknomi
rakyatnya. Pemerintah tidak sempat menganalisa kalau kriminalitas bukan
semata-mata karena ada rasa tidak puas satu pihak atas politik pilkada saat
ini, tapi bisa saja dilakukan oleh rakyat yang kebutuhan ekonominya telah
sekian lama terabaikan.
Kemiskinan tidak
dapat menjamin sebuah bangsa akan aman dari kriminalitas. Begitu juga halnya
dengan Aceh saat ini. Ketika belum adanya keadilan secara hukum dan
kesejahteraan secara ekonomi, maka perdamaian Aceh belum bisa dikatakan telah
terwujud sepenuhnya. Belum ada perdamaian yang sesungguhnya di Aceh. Yang ada
hanya rasa aman dari desingan peluru dan derap sepatu para serdadu.| sumber : Atjehpost.com
*Ibu Rumah Tangga,
Tinggal Di Nisam, Aceh Utara