Barometerpost.com. Awal Desember tahun lalu, penulis berkesempatan
melawat ke Aceh. Banyak sekali kenangan di kawasan yang dahulunya dikenal
sebagai “zona merah” dalam babakan sejarah negeri ini. Aceh merupakan bumi para
pejuang. Sematan tersebut bukanlah tanpa bukti. gurat-gurat perjungan masa
lalu, menghiasi sudut-sudut Banda Aceh. Mulai dari deretan destinasi-destinasi
historis era Kerajaan Aceh Darussalam sampai jejeran museum perjuangan revolusi
fisik di samping Meligoe (pendopo)
kegubernuran.
Menengok Banda Aceh sama halnya dengan membentangkan babakan besar
sejarah bangsa ini. banyak ahli sejarah meyakini, daerah di ujung utara Pulau
Sumatera ini merupakan tempat awal berjejaknya Islam di bumi Nusantara. Di masa
lalu, Aceh dikenal sebagai bandar dagang yang disibukkan dengan berbagai kapal
pemborong besar yang berasal dari belahan dunia manapun, tak terkecuali yang
berasal dari Arab, Gujarat, Persia, dan Turki.
Para pedagang Muslim tersebut, selain berupaya melaggengkan
transaksi dagang dengan kaum pribumi, juga lamat-lamat merekonstruksi dialog
kearah yang lebih privatif, yakni ke wilayah kepercayaan akan Tuhan.
Sebelumnya, di pedalaman Aceh, sempat berdiri kerajaan Hindu yag
cukup dikenal di dalam kajian lokal sejarah Aceh. Namanya kerajaan Jeumpa
terletak di daerah yang kini dikenal dengan Bireuen Alkisah, pada abad
ke-8, terdapat seorang anggota Revolusi Syiah yang bernama Maharaj Syariar
Salman yang mengadakan kunjungan ke Utara Sumatera. Pengembaraannya bukanlah
tanpa sebab.
Sebelumnya di Jazirah Arab, terjadi friksi yang ketat antara
golongan Syiah dan pemerintah yang sedang berkuasa di masa itu. Perbedaan
pandangan politik menyebabkan golongan minoritas ditindas dan didisposisikan
dari kehidupan sosial. Syahriar Salman, merupakan satu diantara mereka yang
mencoba peruntungan di tanah orang akibat dari ketidakkondusifan suhu politik
di daerah asalnya. Kerajaan Jeumpa merupakan akhir dari masa pengembaraannya.
Beliau disambut dengan keramahan di kerajaan Hindu tersebut.
Singkat Cerita, Raja Jempa menikahkan puterinya, Putri Mayang
Selundang dengannya dan beberapa waktu berselang setelah itu, Jeumpa menjadi
kerajaan Islam pertama di Nusantara jauh sebelum Kerajaan Perlak berdiri.
Membelah kota Banda Aceh laiknya mengunduh berbagai pengalaman tradisi,
kebudayaan, falsafah yang tak terkira banyaknya. Hampir disetiap bilangan
tempat lambang “Pintu Aceh” seakan mewartakan bahwa Banda Aceh adalah gerbang
perbendaharaan ragam peristiwa besar yang menyejarah. Ibarat pintu terbuka yang
dari dalamnya keluar kilasan-kilasan epos mencengangkan yang merubah wajah
Aceh.
Di era Sultan Iskandar Muda, yang konon
merupakan Raja Aceh terbesar dan teragung di masa lalu, Kerajaan Aceh
Darussalam dibawa ke masa yang penuh dengan kegemilangan. Satu kata dari ribuan
tafsir mengenai Sultan ini, adalah “lawan”. Raja Aceh ini, merupakan sosok yang
tak kenal kompromi dengan campur tangan asing. Pada 1613, Sultan Iskandar Muda
menyerang kerajaan Johor, yang notabene masih serumpun yang ditengarai
mengadakan kontak dengan Portugis.
Sebelum bangsa tersebut menyentuh Aceh, apa salahnya menghadang dan
meleburkan kekuatan asing itu, walaupun di negeri orang, demikian kiranya yang
terbetik di jalan pemikiran sang Sultan. Berbeda dengan di Jawa yang pada
umumnya makam-makam tokoh-tokoh besar ramai dikunjungi peziarah, pemandangan di
komplek makam Sultan Iskandar Muda pada saat itu terlihat lengang. Salah satu
faktor utama terkait hal tersebut adalah perbedaan paham keagamaan yang
mencolok terkait ziarah kubur. Jika di Jawa peziarah umumnya selain berdoa,
juga menjadikan kawasan makam sebagai tempat untuk mencari ketenangan batin,
sedangkan di Aceh ziarah hanya dimaknai dengan ibadah yang sifatnya tak lebih
dari berdoa, itupun tak harus berlama-lama di lokasi makam.
Di pinggiran Banda Aceh, terdapat satu jalan raya yang melewati
Pabrik Semen Lhok Ngha, yang terletak di tepi pantai. Sepanjang perjalanan,
perbukitan bersap-sap menimbulkan nuansa keindahan tersendiri. Aceh tak saja
menyimpan kekayaan khazanah sejarah, tapi juga “surga hijau yang terpendam”.
Deretan perbukitan yang menghijau ditumbuhi pohon-pohon cemara, sekilas tak
kalah dengan Pegunungan Alpen Swiss, namun tanpa salju. Nuansa keindahan
tersebut mengiringi sampai pantai Lhok Ngha, dimana hijaunya perbukitan
bertatap muka langsung dengan kelembutan birunya samudera Hindia, seperti
sepasang manusia yang memadu kasih dipayungi sinar mentarai yang kembali ke
peraduan.
Kita tinggalkan Lhok Ngha dengan sejuta keramahan alamnya, deru
mobil mengantar kami ke patai lepas di kawasan Ulee Lhe. Sejauh mata memandang
hanyalah segara yang tanpa batas hanya sesekali pandangan kami dicuri oleh
kapal tanker dengan kepulan asap hitamnya. Suasana keakraban yang ditawarkan
pantai tersebut, terasa lebih bersahabat dengan tawa cekikikan anak-anak yang
berenang di pinggir pantai.
Perjalanan saya berlanjut ke makam Syaikh Abdurrauf Singkel yang
dikenal dengan nama Syah Kuala yang berada di bibir pantai Aceh. Dari lokasi
makam tersebut jikalau dilihat kejauahan, samar-samar nampak gugusan Kepulauan
Aceh dan Pulau Sabang, tempat kilometer nol negara ini berada. Syah Kuala
menempati posisi penting dalam perjalanan kehidupan beragama pada masa
kerajaan Aceh Darussalam. Beliau mengganti kedudukan mufti Aceh,
pasca-bertolaknya Nuruddin Ar-Raniry ke negeri asalnya, Gujarat.
Secara tata kelola bangunan, tak ada
yang menyita perhatian dari komplek makam tersebut, kecuali nisan-nisannya yang
berumur ratusan tahun. Semilir angin sore yang menyelimuti kawasan tersebut
seakan menandakan betapa teduhnya hukum Islam yang tergelar era Syah Kuala.
Ketamaddunan peradaban bersendikan nilai-nilai Islam moderat betul-betul
tertanam kuat di masa kepemimpinan Syah Kuala. Dalam perundang-undangan
Kerajaan Aceh Darussalam tertulis Hukum bak Syah Kuala.
Perjalanan kami, berakhir di makam Teuku
Nyak Arief, tepatnya di Lam Nyong. Kesederhanaan yang terpancar dari komplek
pemakaman Residen pertama Aceh tersebut seakan meyakinkan para peziarah bahwa
sosok yang terbaring di kompleks tersebut merupakan pribadi yang menjalani
hidup laiknya para pengamal tradisi tasawuf, hidup serba terbatas namun ajeg dalam
perjuangan mengusir para penjajah. Teuku Nyak Arief dikenang sebagai Tiga
serangkai bersama Teuku Hamid Azwar dan Syamaun Gaharu di era revolusi fisik
pasca-proklamasi 1945.
Harapan tak berujung
Mencermati keadaan negeri rencong belakangan, agaknya catatan
harmoni perjalanan berbanding terbalik dengan kisah memilukan para korban
penembakan akhir-akhir ini. belum lagi, peristiwa robohnya sutet oleh sekawanan
orang tak dikenal semakin memperkuat betapa ruang publik Aceh disesaki oleh
atsmosfer ketakutan dan kecemasan.
Bayak
pihak yang mensinyalir, hadirnya ketegangan di Aceh erat kaitannya dengan
semakin dekatnya Pilkada (pemilihan kepala daerah) Aceh yang sebentar lagi akan
berlangsung. Beberapa pengamat menengarai, absennya Partai Aceh, sebagai partai
domestik terbesar di Aceh disebut-sebut menjadi sinyalemen pergolakan di akar
rumput. Ini pun belum dapat dibuktikan secara akurat.
Yang terpenting, adalah bagaimana mencari resolusi terkait maraknya
aksi teror tersebut. Timbulnya krisis memilukan tersebut, tentu didahului oleh
banyak asumsi yang mengerucut pada ketidakpuasan pada langgam kepemimpinan
pemerintah era sebelumnya. Boleh jadi juga, hanya karena segelintir golongan
yang sengaja mengkreasikan peta teror untuk menjatuhkan reputasi pemerintah
lokal, bahkan pusat.
Untuk itu, sebagai perwakilan suara rakyat, pemerintah hendaknya
segera mencari dan menemui pihak-pihak terkait untuk menyumbat aksi-aksi
menggelisahkan tersebut. ini merupakan tugas utama yang tak bisa dinegasikan.
Satu hal yang perlu digarisbawahi yakni jalan dialog adalah langkah tepat untuk
mencari titik temu yang efektif menciptakan tatanan hidup yang damai dan
tenteram.
Sudah selayaknya harapan untuk agar perdamaian di Aceh langgeng
abadi hendaknya ditumbuhkembangkan di kedalaman hati segenap lapisan masyarakat
negeri ini. Bahasa perdamaian adalah bahasa kasih yang akan mengundang
keberaturan dan keadilan. Kearifan dan keseriusan untuk membangun Aceh adalah
modalitas utama yang harus dikedepankan untuk merebuildisasi jalur-jalur
dialogis yang sempat terputus. Jangan hanya karena noda setitik, memori
kolektif kegemilangan Aceh masa lalu yang sarat akan penegakan hukum
bersendikan keadilan dicederai dan dikubur hidup-hidup.
Oleh
Johan Wahyudhi
Penulis
adalah Sejarawan Muda