Bodoh,
peragu, dan pengecut, tampaknya cocok untuk dilekatkan kepada diriku. Jadi,
janganlah ragu bila engkau juga ingin mengatakannya padaku. Sungguh, akan
kuterima, karena benar demikian adanya. Setidaknya yang kurasakan pada saat
ini.
Janganlah
engkau tanya padaku tentang nama-nama lantaran paling hanya pernah mendengar
namanya. Tapi sama sekali buta dengan pikiran-pikiran mereka yang
tertuang dalam kata-kata, terangkum ke dalam buku-buku, yang tak pernah
terbaca. Bila pernah mendengar, tentulah para sahabat yang pernah berkisah.
”Aktivis
kuping” begitulah julukan bagi orang macam diriku. Julukan yang pernah sangat
marak digunakan oleh kalangan aktivis untuk mengejek orang-orang sepertiku,
yang bicara, mengawang-awang, terdengar gagah, lantaran hanya mendengar, tanpa
pernah membaca.
Ya,
aku adalah orang bodoh. Orang yang jarang membaca buku. Lantaran racun
orang-orang sekeliling pula. ”Buat apa banyak baca buku dan hanya bicara, tapi
mata dan rasa buta realita. Apalagi membaca banyak karya yang berbeda-beda,
engkau semakin dibuat buta, dibuat seakan tiada berharga, lantaran belum
membaca, apa beda dengan konsumerisme yang engkau hina?”
Akulah
si bodoh, yang mudah teracuni. Sehingga tak awas, seharusnya keseimbanganlah
yang terjaga. Membaca. Membaca buku. Membaca realita. Membuka jendela dunia.
Tanpa pernah merasa hampa. Tapi begitulah. Jarang baca buku, jarang baca
realita. Senang berselancar pada maya. Kesana-kemari menyapa. Waktu sering
terlupa. Terlewatkan pertemuan-pertemuan membangun perbincangan dengan anggota
keluarga. Alasan, pastilah berjuta. Benar-benar bodoh bukan?
Selain
bodoh, akulah sang peragu. Tiada pernah cepat dan pasti dalam menentukan sikap
dan pilihan. Apalagi kalau sudah menyangkut perbincangan tentang angka-angka.
Ragu untuk menentukan harga. Bekerja, adalah ekspresi sebagai manusia, pikiran
dalam kepala. Tidak bisa dinilai dengan harga. Ini soal rasa. Kesenangan dan
kepuasan. Terserah sajalah, nilai yang engkau berikan berapa, pastilah tak akan
jadi persoalan.
”Kamu
memang bodoh, merendahkan diri sendiri. Janganlah ragu-ragu, tentukan harga.
Dunia saat ini, adalah dunia angka. Maksudmu tak peduli, bisa jadi dianggap
rendah diri. Sehingga bisa dieksploitasi. Kelak akan membuat dirimu sakit hati…
Tapi soal lain, bagaimana engkau bisa kaya? Kasihan nanti keluargamu
menderita,” seorang kawan, entah mengingatkan atau sebenarnya melontarkan
ejekan.
”Sungguh,
aku peragu, kalau sudah menyangkut angka-angka. Berkarya dalam kerja, kerja
untuk berkarya sudahlah membuat rasa bahagia, mengapa harus dibuat susah?”
kataku tanpa terucap hanya tertanam dalam kepala.
Bodoh,
peragu, ditambah sosok yang pengecut. Sempurnalah sudah untuk menjadi bahan
ejekanmu. Ya, bagaimana engkau tertawa, ketika aku mengelak, terlibat dalam
perdebatan, apalagi perkelahian.
”Alasan
saja, menyatakan tiada guna. Hidup ini keras, bung. Setiap langkah dan
kesempatan adalah pertarungan. Bila engkau mengalah, maka engkau akan
kalah. Ayo, jadilah petarung!” seorang kawan memprovokasi, tapi tetap saja tak
membuatku bergerak.
Kini,
aku tengah sendiri, menghadapi pergantian hari, pada jelang tengah malam.
Menatap cermin. Wajah yang menua, bukan karena dipaksa, tapi memang umur sudah
mencatatkan diri sesuai datanya. Aku sama sekali tidak menyesali apa yang telah
terjadi, bukankah selama ini perjalan hari-hari benar-benar bisa aku nikmati.
Tersenyum.
Tiba-tiba aku ingin menulis. Tentang apa? Berpikir, berlompat-lompatan,
mencari-cari sambil menari-nari, kata yang berhamburan, membangun kata,
memecah, melahirkan bangunan-bangunan baru. Sampai tiba. Pada sebuah himpunan
kata "maafkan aku yang telah menjadi orang bodoh dalam pandanganmu aku tak sempurna dan kamu jauh lebih sempurna dalam menjadi aktifis, ajari aku tapi kumohon jangan sepertimu".