Kontestasi politik di Indonesia telah dimulai tepat saat diadakannya pemilu pertama kali pada 1955. Saat itu, Pemilu diikuti oleh sekitar 10 partai yang masih kental aroma ideologi dan coraknya masing-masing dengan diikuti sekitar 60 juta rakyat Indonesia yang memiliki hak pilih kala itu. Dari hasil survey dan pemberitaan media massa, pemilu tahun 1955 merupakan Pemilu paling Demokratis sepanjang Perjalanan Negara Indonesia sebagai Negara berkembang. Partai-partainya mampu bersaing secara sehat dengan animo masyarakat yang demikian besar.
Namun, sayangnya, saat rezim Orde Baru berkuasa, Pemilu seakan hanya sekedar sebagai formalitas 5 tahunan saja. Ibarat system feodal yang berkuasa secara otoriter bak kaisar yang turun tahta saat wafat. Selama 32 tahun, Indonesia mengalami krisis kepemimpinan yang memprihatinkan. Tidak ada regenerasi dalam puncak kekuasaan Negara. Ini menjadikan bangsa Indonesia terlena untuk tidak aktif melakukan proses kaderisasi kepemimpinan pada tingkatan nasional.
Demokrasi pun terancam karenanya. Hanya partai tertentu saja yang berkuasa. Ideologi tak berarti, dan militerpun campur tangan. Namun hingga masa kejenuhan pengekangan terhadap ideology itu, mulai muncul suatu gerakan perlawanan dari kalangan kaum intelektual pada tahun 1990-an. Yang telah jenuh pada kondisi yang serba nyaman namun mencurigakan. Maka, puncaknya, pada 1998 bertemulah kekuatan Politik kaum intelektual ini dalam satu titik perjuangan. Yaitu turunkan rezim Orde Baru, kembalikan demokrasi, dan reformasi total birokrasi. Saat itu seluruh elemen masyarakat bersatu padu merebut demokrasi, hingga akhirnya jatuhlah rezim otoritarian Orde Baru.
Kemudian dibukalah pemilu tahun 1999 yang membuka sistem multi partai. Yang menjadikan kontestasi politik menarik kala itu adalah munculnya kembali corak ideology antar partai yang berbeda dan terasa. Islam, Sosialis, Nasionalis, dll. Namun merangkak pada pemilu 2004 kemudian pemilu 2009, nampaknya pemilu kian kehilangan substansinya. Karena dalam masa perjalanan selama 10 tahun itu ternyata prtai politik telah kehilangan jati dirinya secara ideology. Partai yang dulunya Kiri mulai bergerak ke tengah, yang kanan juga bergerak ke tengah, dan pada akhirnya partai yang memiliki ideology “netral” yang diminati rakyat.
Kemudian dibukalah pemilu tahun 1999 yang membuka sistem multi partai. Yang menjadikan kontestasi politik menarik kala itu adalah munculnya kembali corak ideology antar partai yang berbeda dan terasa. Islam, Sosialis, Nasionalis, dll. Namun merangkak pada pemilu 2004 kemudian pemilu 2009, nampaknya pemilu kian kehilangan substansinya. Karena dalam masa perjalanan selama 10 tahun itu ternyata prtai politik telah kehilangan jati dirinya secara ideology. Partai yang dulunya Kiri mulai bergerak ke tengah, yang kanan juga bergerak ke tengah, dan pada akhirnya partai yang memiliki ideology “netral” yang diminati rakyat.
Seakan memang tak ada tawaran ideology perjuangan yang dibawa. Dan rakyat cendrung pada “siapa” tokoh di partai itu.
Nampaknya Indonesia memang sedang terjadi pragmatisme politik. Lebih jauh lagi pragmatisme ini akan berbahaya jika tiap pemilu digelar terjadi hal yang sama. Akan terjadi ketidak jelasan arah juang partai politik yang menunjukkan platform yang jelas dan mencoba konsisten dengan perjuangannya. Rakyat hanya akan semakin merasa sebagai konstituen electoral pemilih saja bukan sebagai yang dilayani untuk kemakmuran, kepentingan dan kesejahteraannya. Namun meski demikian tidak semua Parpol mengalami pragmatisme, ada sebagian parpol yang masih berusaha untuk konsisten dengan platform pembangunan kebangsaan yang lebih jauh dan visioner serta pelayanan kepada masyarakat.
Kemudian ketika kita melihat dari sudut pandang gerakan mahasiswa yang notabene adalah gerakan ekstra parlementarian yang independen, hendaknya berada pada barisan terdepan dalam menanggapi dan terlibat dalam masalah kebangsaan. Pemilu dan demokrasi memang menurut sebagian kalangan mahasiswa, dan pengamat politik yang lain belum sesuai dengan system kenegaraan yang efektif. Tetapi system ini tetap masih berlaku di Negara Indonesia. Dan dalam konteks perjuangan mahasiswa kita bisa memaknainya sebagai perjuangan mempertahankan nasib rakyat yang harus diakomodir oleh pemerintah. Mahasiswa yang kepeloporannya sebagai "pembela rakyat" serta keperduliannya yang tinggi terhadap masalah bangsa dan negaranya yang dilakukan dengan jujur dan tegas. Walaupun memang tak bisa dipungkiri, faktor pemihakan terhadap ideologi tertentu turut pula mewarnai aktifitas politik mahasiswa yang telah memberikan konstribusinya yang tak kalah besar dari kekuatan politik lainnya.
begituPun halnya dengan Pemilihan Raya Mahasiswa di Kampus. Peta perpolitikan kampus sesungguhnaya tidak jauh berbeda dari kondisi perpolitikan secara nasional. Karena dikatakan dunia politik kampus bisa jadi merupakan representatif dari dunia politik Nasional. Hanya saja saat ini ruh kampus mulai berubah tidak lagi bersifat politis. Namun isu akademik, sudah menjadi sangat menunjang kepemimpinan mahasiswa. Bukan lagi mahasiswa yang hanya pintar berorganisasi saja yang akan menjadi Pemimpin. Namun trend kepemimpinan saat ini adalah tentang Kapasitas Internal.
begituPun halnya dengan Pemilihan Raya Mahasiswa di Kampus. Peta perpolitikan kampus sesungguhnaya tidak jauh berbeda dari kondisi perpolitikan secara nasional. Karena dikatakan dunia politik kampus bisa jadi merupakan representatif dari dunia politik Nasional. Hanya saja saat ini ruh kampus mulai berubah tidak lagi bersifat politis. Namun isu akademik, sudah menjadi sangat menunjang kepemimpinan mahasiswa. Bukan lagi mahasiswa yang hanya pintar berorganisasi saja yang akan menjadi Pemimpin. Namun trend kepemimpinan saat ini adalah tentang Kapasitas Internal.
Maka tak jauh berbeda sebenarnya,, untuk memenangkan politik di kampuspun harus melihat konstituen dan trend masyarakat kampus itu saat ini. Cara lama sudah Basi. butuh penyegaran arah gerak Mahasiswa. Jika ingin politik kampus tetap berjalan, ikuti trend masyarakat kampus yang sudah lebih bersifat Akademis dan ke arah Kepakaran. Akhirnya Pemimpin Mahasiswa hanyalah masalah Kapasitas Internal secara Intregral. Karena memang katanya mahasiswa adalah manusia intelektual, dan mahasiswa adalah gerakan sosial intelektual, yang merubah dan menggebrak secara cerdas dan intelek…!!!