Wisnu Dewabrata
Seolah menjadi semacam trofi
kemenangan, sejumlah media massa internasional menayangkan gambar jenazah
penguasa diktator Libya, Kolonel Moammar Khadafy, tergeletak berlumuran darah
di atas trotoar di salah satu sudut kota kelahirannya, Sirte, dikelilingi
orang-orang bersenjata.
Khadafy diyakini tewas tak lama setelah
dia dan para pengawal setianya terlibat kontak tembak dengan pasukan
pemberontak, Dewan Transisi Nasional (NTC) Libya . Dari sejumlah laporan dan
kesaksian disimpulkan, Khadafy juga sempat tertembak di bagian kaki saat
sebelumnya mencoba melarikan diri.
Khadafy tertangkap setelah ketahuan
bersembunyi di dalam gorong-gorong. Dia kemudian diseret keluar lalu dieksekusi
oleh para pemburunya. Padahal, dari cerita saksi mata, Khadafy sempat meminta agar
dirinya tidak dibunuh.
Sayang, kebencian para ”eksekutor”-nya
itu sudah berada di titik terpuncak dan tak bisa lagi dibendung. Dari salah
satu rekaman video, diyakini berisi detik-detik terakhir menjelang ajal
Khadafy, tampak sang diktator digelandang lalu dihajar beramai-ramai dan
ditembak mati.
Dua tembakan ”bersarang” di bagian
kepala dan dada sang diktator. Hal itu diduga menjadi penyebab utama
kematiannya. Para pemberontak dan rakyat anti-Khadafy di seluruh penjuru Libya
bersorak-sorai dan bergembira.
Mungkin mereka sudah tidak mau lagi
mengingat kekejaman Khadafy, setidaknya sejak munculnya gelombang aksi
prodemokrasi. Selama delapan bulan terakhir, sekitar 22.000 warga Libya tewas
karena serangan pasukan Khadafy.
Mungkin juga mereka jengkel dengan
sebutan Khadafy, yang memanggil penguasa Libya sekarang sebagai tikus-tikus.
Sejumlah pemimpin negara, mulai dari
Amerika Serikat dan anggota NATO, yang ikut ”mensponsori” penggulingan sang
diktator atas nama kekayaan minyak bumi negeri itu, ikut menyambut gembira.
Lantas, bagaimana sebenarnya sepak
terjang Khadafy hingga pada saat terakhirnya? Apa yang membuatnya begitu
dibenci, termasuk oleh rakyatnya sendiri, padahal konon pada masa mudanya dia
pernah dianggap oleh sebagian kalangan seolah ”Che Guevara”-nya Afrika?
Awal kepemimpinan
Sebagai seorang perwira pertama
angkatan bersenjata Libya, Khadafy, yang saat itu masih berusia 27 tahun dan
sangat karismatik, memang sangat terinspirasi dengan pemikiran serta perjuangan
tokoh nasionalis Arab asal Mesir, Gamal Abdel Nasser.
Sedemikian terpengaruhnya dia
sampai-sampai sang perwira muda lulusan akademi militer Libya itu mulai mematangkan dan akhirnya
menjalankan skenario kudeta militernya menggulingkan pemerintahan monarki Libya ketika
itu, pimpinan Raja Idris, yang didukung Pemerintah Inggris.
Pascakudeta tak berdarah 1 September
1969 itu Khadafy, yang lalu menaikkan sendiri pangkat kemiliterannya dari
kapten menjadi kolonel itu, naik ke puncak kekuasaan di Libya .
Lebih lanjut, untuk melanggengkan
kekuasaannya, pria kelahiran Sirte, 7 Juni 1942, itu membangun sendiri filosofi
politiknya. Dia ”mengoplos” gagasan Nasser
tentang nasionalisme Arab, sosialisme, dan idealisme dalam Islam.
Dari situ lahirlah kemudian tiga jilid
buku filosofi politik Khadafy, dikenal dengan sebutan ”Buku Hijau”, yang resmi
dipublikasikan tahun 1975. Pada intinya, menurut Khadafy, pemerintahan Libya harus
dibangun dari sekelompok orang (government by the masses).
Dua tahun kemudian, dia memproklamirkan
sebuah paham baru, ”Jamahiriya”, yang berarti pemerintahan yang dipimpin oleh
jemaah atau kelompok-kelompok.
Secara konkret, menurut versi Khadafy,
demokrasi di Libya adalah sebuah demokrasi yang dipimpin oleh Dewan
Revolusioner dari kelompok-kelompok lokal, yang pada ujungnya kembali terkonsentrasi
di bawah kekuasaannya sendiri.
Selain itu, Khadafy juga diketahui
sangat ahli sebagai seorang manipulator politik. Dia mampu mendekati dan bahkan
saling mengadu domba suku-suku yang banyak tersebar di Libya .
Tidak hanya dimanipulasi agar saling berkelahi
sendiri, Khadafy juga memanfaatkan mereka untuk menghantam institusi atau
kelompok lain yang tidak disukainya.
Selain itu, Khadafy juga terus
membangun kultus individu terhadap dirinya. Seiring waktu kekuasaannya semakin
kuat mencengkeram berbagai sendi kehidupan di Libya , terutama dengan memanfaatkan
mekanisme patronasi dirinya dan kontrol ketat dari negara.
Lambat laun, sosok Khadafy pun semakin
berubah. Selain hidup nyentrik dengan gaya
berbusananya yang unik, ia juga dikelilingi para pengawal wanita terlatih untuk
membunuh dan hanya setia kepada dirinya. Selain gaya hidup mewahnya dan seluruh keluarganya,
Khadafy juga menjadi lebih otoriter dan kejam.
Lebih dari empat dekade
pemerintahannya, Libya
dipenuhi pertumpahan darah. Dia juga menolak turun dari tampuk kekuasaannya. Libya memang
kaya raya dengan produksi minyaknya yang berlimpah. Pendidikan dan kesehatan
dijamin sepenuhnya oleh pemerintah.
Namun, Khadafy gagal membuat rakyat
yang dipimpinnya ikut merasakan kekayaan dan kemakmuran itu. Semua kemewahan
hanya menjadi monopoli Khadafy, keluarga, dan orang- orang yang ada di dalam
lingkar kekuasaannya.
Awal kediktatoran
Periode terburuk kepemimpinan Khadafy
dipercaya terjadi mulai era 1980-an ketika dia bereksperimen atas rakyatnya
sendiri, terutama dengan menggelar semacam gerakan ”revolusi budaya”. Khadafy
melarang semua perusahaan swasta dan juga memerintahkan pembakaran buku-buku
yang menurutnya tidak sehat.
Dia juga membunuhi para pembangkang
yang tinggal di luar negeri, memberangus kebebasan berpendapat dan berkumpul,
serta menerapkan berbagai macam praktik represif terhadap mereka yang dianggap
melawan dan tidak sejalan dengan dirinya.
Salah satu insiden terkenal ketika pada
April 1984, sebuah aksi unjuk rasa damai anti-Khadafy di depan Kedutaan Besar
Libya di London, Inggris, berubah menjadi kekacauan. Seorang perwira polisi
muda Inggris, Yvonne Fletcher, tewas tertembak.
Sikap nyentrik Khadafy juga tampak
ketika dia ”menampung” dan melatih kelompok- kelompok militan dari berbagai
penjuru dunia, termasuk Irish Republican Army (IRA) dan Palestine Liberation
Organization (PLO), di negaranya.
Hal itu memicu kemarahan AS, yang saat
itu dipimpin Presiden Ronald Reagan. Oleh Reagan, Khadafy disebut sebagai
seekor ”anjing gila” dan memerintahkan sebuah serangan mematikan dengan
mengerahkan serangan udara ke kota Tripoli dan Benghazi
pada 15 April 1986.
Khadafy dilaporkan sangat terguncang
akibat serangan yang juga menghancurkan salah satu kediamannya dan menewaskan
salah seorang anak perempuan adopsinya. Untuk itulah dia tetap mempertahankan
lokasi kediamannya yang luluh lantak tersebut menjadi semacam monumen
peringatan, juga dilengkapi dengan patung tangan besi yang mencengkeram pesawat
tempur AS.
Seolah tak jera, Khadafy diyakini
terlibat di balik aksi teror peledakan pesawat penumpang Pan Am penerbangan
103. Pesawat itu meledak dan hancur berkeping-keping saat melintas di udara kota Lockerbie,
Skotlandia, pada 21 Desember 1988, yang menewaskan 270 penumpang dan kru
pesawat serta warga yang tertimpa reruntuhan.
Khadafy menolak menyerahkan dua
tersangka pelaku peledakan bom yang juga warga negara Libya . Keduanya
diyakini agen rahasia Libya .
Kondisi itu memaksa Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan sejumlah negara Barat
menjatuhkan sanksi dengan mengisolasi Libya .
Sanksi itu berlangsung sekitar satu
dekade dan dicabut kembali setelah tahun 1999 Libya bersedia menyerahkan dua
tersangka itu untuk diadili di Skotlandia. Salah seorang dari mereka dijatuhi
hukuman karena dianggap terbukti bersalah.
Selain menyerahkan kedua tersangka
peledakan bom, pemerintahan Khadafy juga bersedia mengungkap program senjata
kimia dan nuklirnya yang selama ini ditutup-tutupi. Kedua langkah itu kembali
menghangatkan hubungan Libya
dan negara-negara Barat yang sempat beku.
Revolusi melati
Pada awalnya Khadafy memang sangat
percaya diri, pergolakan yang terjadi dan menjungkalkan sejumlah pemimpin
diktator di kawasan Timur Tengah tidak akan sampai merambah negaranya. Ketika
sejumlah peristiwa pemberontakan terjadi, Khadafy menjawab ”tantangan” tersebut
dengan sangat keras.
Belakangan langkah kejam Khadafy justru
semakin memperkuat perlawanan para pemberontak, yang juga dibantu negara-negara
Barat, seperti AS dan negara anggota NATO. Mereka kemudian membentuk NTC Libya.
Khadafy bersikeras, para pemberontak
itu adalah orang-orang yang sudah dicuci otaknya oleh Osama bin Laden dan organisasi
teroris Al Qaeda. Khadafy menyebut mereka sebagai tikus yang harus dibasmi.
Akibatnya, pembunuhan besar-besaran pun
terjadi dan darah tumpah di mana-mana. Libya terpecah dan perang saudara
pun tak terelakkan. Sebagian memilih loyal kepada Khadafy, sementara sebagian
lagi, termasuk kalangan militer, memilih balik melawan.
Serangan udara NATO yang dilancarkan
tak kunjung berhasil membunuh pemimpin eksentrik itu. Bahkan, dalam sebuah
kesempatan Mei lalu, Khadafy berseloroh bom-bom pesawat tempur NATO tak akan
bisa menewaskannya.
Walau belakangan sejumlah anggota
keluarganya ketahuan melarikan diri ke luar negeri, Khadafy menyombongkan diri
tak akan pernah kabur dari negerinya itu dan memilih mati di sana . Dia masih sangat percaya rakyat
mendukungnya sebagai seorang ”Saudara Pemimpin dan Pemandu Revolusi”.
Sayangnya keyakinan itu semakin memudar
seiring dengan semakin menguatnya perlawanan kelompok pemberontak. Terakhir,
menjelang kematiannya, Khadafy dan sekelompok loyalisnya terdesak di tanah
kelahiran Khadafy, Sirte.
Walau tewas mengenaskan, setidaknya
”keinginan” Khadafy untuk mati di tanah kelahirannya sendiri seperti dia pernah
selorohkan sebelumnya telah terpenuhi. Dia tewas di tangan bekas rakyatnya
sendiri.
Namun, kasus Khadafy ini sekaligus
membuat kita harus bertanya. Benarkah kedaulatan sebuah negara dihargai dunia?
Ini merujuk pada dalam dan mengakarnya peran Barat di balik penjungkalan hingga
pembunuhan Khadafy.
Benar bahwa Khadafy kejam. Namun,
apakah kekejaman itu melegitimasi campur tangan pihak luar untuk menjalankan
skenario penggulingan yang tersamar dengan mandat Dewan Keamanan PBB? (AFP/AP/REUTERS/BBC)